Bilal bin Rabah, Mu’adzin Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam,
memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah.
Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus
diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap
orang tetap penasaran untuk mendengarnya.
Siapakah gerangan lelaki yang ketika didera siksa dahsyat Kafir Quraisy, hanya kata-kata “ Ahadun-Ahad “ yang
keluar dari mulutnya, Siapakah pula lelaki yang pada hari-hari akhirnya
mengulang-ulang kata-kata, “Besok kita akan bertemu dengan para kekasih
(Muhammad dan para sahabatnya)” ?
Dialah Bilal Bin Rabah Al-Habsyi, Semoga Allah meridloinya, lelaki yang
lahir di Mekah, sekitar 43 tahun sebelum hijrah itu tumbuh di Mekah
sebagai seorang hamba sahaya milik anak-anak yatim keluarga Bani Abdud
Dar yang berada di bawah asuhan Umaiyah bin Khalaf.
Bilal Sebelum Masuk Islam
Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum
hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang
budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu,
sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita
hitam).
Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekkah) sebagai
seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal,
Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum
kafir. Seperti penampilan orang Afrika pada umumnya, hitam, tinggi dan
besar, begitulah Bilal. Meski Bilal adalah lelaki dengan kulit hitam
pekat, namun hatinya, insya Allah bak kapas yang tak bernoda.
Masa kecil Bilal dihabiskan di Mekkah, sebagai putra
dari seorang budak, Bilal melewatkan masa kecilnya dengan bekerja keras
dan menjadi budak. Ia hidup sebagai hamba sahaya, hari-harinya berlalu
tanpa beda dan buruk. Ia tidak punya hak pada hari ini, dan tidak punya
harapan pada esok hari. Seringkali ia mendengar tuan-nya, Umayyah,
berbicara bersama kawan-kawannya pada suatu waktu dan para anggota
kabilah di waktu lain tentang Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala
Alihi Wa Sallam, dengan pembicaraan yang meluapkan amarah dan
ke-dengkian yang sangat.
Keislaman Bilal
Bilal termasuk orang yang teguh dengan pendiriannya.
Ketika Rasulullah Saw mulai menyampaikan risalahnya kepada penduduk
Mekah, beliau telah lebih dahulu mendengar seruan Rasulullah saw yang
membawa agama Islam, yang menyeru untuk beribadah kepada Allah yang Esa,
dan meninggalkan berhala, menggalakkan persamaan antara sesama manusia,
memerintahkan kepada akhlak yang mulia, sebagaimana beliau juga selalu
mengikuti pembicaraan para pemuka Quraisy seputar Nabi Muhammad saw.
Beliau mendengar tentang sifat amanah Rasulullah saw,
menepati janji, kegagahannya, kejeniusan akalnya, menyimak ucapan mereka
: “Muhammad sama sekali tidak pernah berdusta, beliau bukan ahli sihir,
bukan orang gila, dan terakhir beliau juga mendengar pembicaraan mereka
tentang sebab-sebab permusuhan mereka terhadap Nabi Muhammad saw.
Maka Bilal-pun pergi menghadap Rasulullah saw untuk mengikrarkan diri
masuk Islam karena Allah Tuhan semesta alam. Bilal masuk dalam deretan
kelompok yang pertama-tama memeluk Islam (Assabiqunal Awwalin).
Taslimnya Bilal saat di atas permukaan bumi baru hanya ada segelintir
pemeluk Islam, Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar Sidik, Ali bin Abi
Talib, Ammar bin Yasir dan ibunya; Sumaiyah, Shuhaib Ar-Rumi dan Miqdad
bin Aswad.
Kemudian menyebarlah perihal masuknya Bilal kedalam agama Islam
diseluruh penjuru kota Mekah, hingga sampai kepada tuannya Umayyah bin
Khalaf dan menjadikannya marah sekali sehingga ingin menyiksanya dengan
sekeras-kerasnya.
Siksaan Terhadap Bilal bin Rabah atas Keislamannya
Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat
dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera
tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap
sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang
sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin
Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang
Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah
Maha Esa).” Bilal dicambuk hingga tubuhnya yang hitam tersebut melepuh.
Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas di
tengah padang pasir saat terik matahari, waktu yang menjadikan padang
pasir seakan seperti padang api yang sangat panas, dan penyiksaan yang
kejam ini terus berulang setiap hari. Bilal pun hanya berkata, “Ahad,
Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap
mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru
memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang
kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.
Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin
Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya
kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di
jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah Mekah. Sementara itu, Bilal
menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan
Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Abu Bakar Menebus Bilal bin Rabah
Akhirnya Allah mengakhiri siksaan demi siksaan yang dialami oleh
Bilal melalui Abu Bakar As Shiddiq. Suatu hari, disaat Bilal kembali
disiksa oleh majikannya Umayyah, Abu Bakar sedang lewat tidak jauh dari
tempat penyiksaannya.
Abu Bakar ash-Shiddiq -Radhiallaahu ‘Anhu datang pada saat mereka
menyiksanya, dan meneriaki mereka dengan ucapan, “Apakah kalian membunuh
seseorang karena berucap, ‘Rabbku adalah Allah?. Abu Bakar juga
berkata, “Wahai Umayah tidakkah engkau takut kepada Allah dalam diri
orang miskin ini ?” “Sampai kapan engkau akan berhenti menyiksa seperti
ini ? “.
Umayahpun berkata kepada Abu Bakar : “Engkau telah merusaknya
dan saya ingin menyelamatkannya seperti yang engkau lihat”. Lalu Umayah
mencambuknya kembali, hingga merasa putus asa dan meminta kepada Abu
Bakar untuk membelinya.
Mendengar hal tersebut, Abu Bakar berniat membeli Bilal dari Umayyah
bin Khalaf. Lalu Umayyah pun meninggikan harganya karena ia menduga
bahwa Abu Bakar tidak akan mampu untuk membayarnya. Padahal dalam
hatinya dia mengatakan, “Jika dia membelinya 1 uqiah pun akan saya
jual.” Sebaliknya Abu Bakar juga mengatakan dalam hati, “Jika tidak mau
menjualnya di bawah harga 100 uqiah pun akan saya beli.”
Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.
Seusai
transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, "Sebenarnya, kalau engkau
menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk
menjualnya."
Abu Bakar membalas, "Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya…"
Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, "Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar." Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, "Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah."
Hijrah ke Madinah
Setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan
sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah,
termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal
satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka
terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan
gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih,
Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah
Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil
Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan
perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah
ia merasakan nikmatnya iman…. Di sanalah ia menikmati segala bentuk
siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah…. Di sanalah ia berhasil
melawan nafsu dan godaan setan.
Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan
orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap
perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Sholallahu ‘alaihi wasallam.Bilal selalu mengikuti Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi. Selalu bersamanyma saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad.
Kebersamaannya dengan RasulullahSholallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.Dia mengabdikan diri sepanjang hidupnya kepada Rasul yang sangat
dicintainya. Dia menjadi pengikut Rasul yang setia dan selalu mengikuti
setiap peperangan yang terjadi pada masa itu. Bahkan dia melihat dengan
mata kepala sendiri bagaimana akhirnya Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf
mantan majikannya tewas di tangan pedang kaum muslimin.
Bilal menyertai Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya.
Saat terjadi perang, Bilal menghadang Umayah dan berkata kepadanya :
“Pemimpin kekufuran adalah Umayah bin Kholaf, saya tidak akan selamat
jika jiwa dia selamat”. Akhirnya riwayat hidup Umayah berakhir di tangan
Bilal, tangan yang sebelumnya banyak dibelenggu dengan rantai-rantai
dari besi, dan tubuh yang selalu dicambuk dengan pecut.
Penunjukan Bilal bin Rabah sebagai Mu’adzin
Ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam selesai
membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal
ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muazin) dalam
sejarah Islam. Suaranya yang begitu merdu sangat menggetarkan hati
siapapun yang mendengarnya. Rasulullah sangat menyukai suara Bilal.
Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam
seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati…(Mari
melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Penaklukan Mekkah
Ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan
kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ‘sang
pengumandang panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah,
beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa
kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam,
termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik
dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang
agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap
Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal
melaksanakan perintah Rasul Sholallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.
Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti
kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang
yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di
dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.
Saat azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu
anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah)”. Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, "Sungguh, Allah telah
mengangkat kedudukanmu…. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi
Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang
kami sayangi." Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.
Khalid bin Usaid berkata, "Aku bersyukur kepada Allah yang telah
memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini."
Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam masuk ke kota Mekah.
Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, "Sungguh malang nasibku,
mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah."
Al-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, "Demi Allah, ini musibah yang
sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini
(Ka’bah)."
Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, "Aku
tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau
hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin
Abdullah."
Adzan Bilal pada Saat Wafatnya Rasulullah
Sesaat setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan napas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai
pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak
sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak
kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat
suasana semakin mengharu biru.
Keistimewaan Bilal bin Rabah
Bilal hidup bersama Rasulullah saw dan selalu mengumandangkan Adzan
untuk sholat, dan menghidupkan syi’ar agama ini yang telah
mengeluarkannya dari kegelapan kepada cahaya, dari perbudakan pada
kemerdekaan, hingga setiap hari kedekatan Bilal dengan Rasulullah saw
kian bertambah yang mana beliau (Rasulullah saw) pernah mensifatinya
dengan calon penghuni surga, namun demikian beliau tetap seperti biasa,
Bilal yang ramah, sopan tidak pernah merasa dirinya lebih baik dari
sahabatnya yang lain.
Suatu hari Rasulullah memanggil Bilal untuk menghadap. Rasulullah
ingin mengetahui langsung, amal kebajikan apa yang menjadikan Bilal
mendahului berjalan masuk surga ketimbang Rasulullah.
"Wahai Bilal, aku mendengar gemerisik langkahmu di depanku di dalam surga. Setiap malam aku mendengar gemerisikmu."
Dengan wajah tersipu tapi tak bisa menyembunyikan raut bahagianya,
Bilal menjawab pertanyaan Rasulullah. "Ya Rasulullah, setiap kali aku
berhadats, aku langsung berwudhu dan shalat sunnah dua rakaat."
"Ya, dengan itu kamu mendahului aku," kata Rasulullah membenarkan.
Subhanallah, demikian tinggi derajat Bilal bin Rabah di sisi Allah.
Menurut riwayat Bukhari,
Nabi pernah bersabda kepadanya setelah shalat subuh : “Ceritakan
kepada saya perbuatan apa yang telah engkau lakukan dalam Islam, karena
sesungguhnya pada suatu malam saya mendengar suara sendal kamu berada di
pintu surga”, Bilal berkata : “Saya tidak melakukan sesuatu apapun yang
lebih baik melainkan saya tidak pernah bersuci dengan sempurna pada
setiap saat; baik malam dan siang hari kecuali saya melakukan shalat
sebagaimana yang ditentukan untuk saya melakukan shalat”. (Al-Bukhari).
Sepeninggal Rasulullah
Sejak kepergian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam,
Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai
kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu.
Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.
Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam
sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi,
karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin
kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan
Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.
Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal
sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal
mendesaknya seraya berkata, "Jika dulu engkau membeliku untuk
kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika
engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas
menuju kepada-Nya."
Abu Bakar menjawab, "Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah."
Bilal menyahut, "Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan
azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam
wafat."
Abu Bakar menjawab, "Baiklah, aku mengabulkannya."
Mimpi Bertemu Rasulullah
Mimpi pertama bertemu Rasulullah itu dalam mimpinya, Rasulullah Saw
berkata kepada Bilal: “Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali
kepadamu,” Kemudian Bilal menjawab: “Ya, Rasulullah, aku pun sudah
teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu,” kata Bilal
masih dalam mimpinya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu saja.
Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang gulana. Ia dirundung
rindu. Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah
seorang sahabat lainnya. Seperti udara, kisah mimpi Bilal bin Rabah
segera memenuhi ruangan kosong dihampir seluruh penjuru kota Madinah.
Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu, semalam Bilal
bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.
Pada suatu hari, ia bermimpi lagi bertemu Rasulullah saw. Dalam
mimpinya itu Nabi saw bersabda kepadanya, “Wahai Bilal, apa yang
menghalangimu sehingga engkau tidak pernah menjengukku ?” Setelah bangun
dari tidurnya, Bilal ra pun segera pergi ke Madinah. Setibanya di
Madinah, Hasan dan Husain ra meminta Bilal ra agar mengumandangkan
adzan. Ia tidak dapat menolak permintaan orang-orang yang dicintainya
itu. Ketika ia mulai mengumandangkan adzan, maka terdengarlah suara
adzan seperti ketika zaman Rasulullah saw masih hidup. Hal ini sangat
menyentuh hati penduduk Madinah, sehingga kaum wanita pun keluar dari
rumah masing-masing sambil menangis untuk mendengarkan suara adzan Bilal
ra itu. Setelah beberapa hari lamanya Bilal ra tinggal di Madinah,
akhirnya ia meninggalkan kota Madinah dan kembali ke Damaskus dan wafat
di sana pada tahun kedua puluh Hijriyah.
Bilal Meninggalkan Madinah untuk Berjihad di Syam
Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim
oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh
dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan azan
hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali
bertemu dengan Bilal Rodhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.
Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat
begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu
Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali,
"Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal)."
Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal
agar mau mengumandangkan azan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab.
Ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan
azan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka ia pun menangis
tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir
hingga janggut mereka basah dengan air mata. Suara Bilal membangkitkan
segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di
Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.. Dan itu,
menjadi adzan terakhir yang dikumandangan Bilal, hatinya tak kuasa
menahan kenangan manis bersama manusia tercinta, nabi akhir zaman.
BiIal, "pengumandang seruan langit itu", tetap tinggal di Damaskus
hingga wafat. Saat menjelang kematiannya, istri Bilal menunggu di
sampingnya dengan setia seraya berkata, "Oh, betapa sedihnya hati ini…."
Tapi, setiap istrinya berkata seperti itu, Bilal membuka matanya dan membalas, "Oh, betapa bahagianya hati ini…. "
Menjelang wafatnya Bilal pada tahun keduapuluh Hijriyah untuk
menghadap sang Khalik, Bilal seringkali mengucapkan kata-kata secara
secara beulang-ulang, kata tersebut adalah:
"Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya
Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya"
Bilal meninggal di Syam dalam keadaan bersiap siaga di jalan Allah,
sebagaimana yang dikehendakinya. Semoga Allah meridhainya dan
menjadikannya ridha kepadaNya.