Adalah suatu kemampuan luar biasa
dalam diri guru bila ia mampu menggugah rasa cinta anak didiknya akan daya
cipta kreatif dan ilmu pengetahuan.
~ A lbert Einstein ~
Saat
ini,bangsa Indonesia dihadapkan pada krisis karakter yang cukup
memprihatinkan.Demoralisasi merambah ke segala lini kehidupan sosial.Di
berbagai media massa ,setiap hari kita di suguhi perilaku menyimpang dari apa yang
di yakini masyarakat.Di masyarakat diyakini bahwa mencuri adalah tindakan
amoral yang di laknat semua agama,di televise dan Koran kita melihat pencuri
uang rakyat dengan bangga memakai ‘baju agama’.Di masyarakat di yakini bahwa
kejujuran adalah cermin kepribadian,di media massa kita saksikan para pemimpin
mengumbar kebohongan.Di masyarakat diyakini bahwa menepati janji adalah syarat
pemimpin yang patut di patuhi,di dalam kehidupan bernegara kita saksikan para
penguasa kerap mengingkari janjinya,dalam kenyataan sosial seperti itulah dunia
pendidikan menjadi sorotan.Sekolah yang merupakan representasi penyelenggaraan
pendidikan dianggap tidak pernah memberikan pendidikan moral dan budi
pekerti.Sekolah dicap pihak pertama yang harus bertanggung jawab atas rusaknya
tatanan moral di masyarakat.Memang banyak bukti juga yang menunjukan bahwa
praktek penyimpangan moral budi pekerti masih terjadi di institusi pendidikan.Plagiarisme naskah-naskah PTK dan
Tesis,penyalahgunaan dana BOS,Korupsi jam mengajar,dan hukuman kekerasan di
kelas adalah contoh nyata tindakan dikalangan institusi pendidikan yang tidak
mencerminkan budi pekerti luhur.
Ditengah
kenyataan seperti itulah para pelajar kita di didik.Mereka diasuh dalam suasana
pendidikan yang tak mampu memenuhi kebutuhan perkembangan mereka.Di sekolah
mereka di didik untuk diam,patuh dan memahami nilai-nilai yang di paksakan
kepadanya,di sisi lain mereka melihat kenyataan yang bertolak belakang dari apa
yang di dapat dari pelajaran tersebut.Inilah yang kemudian terpaksa mereka
mencari identitas di luar dunia sekolah.Kenakalan remaja,begitulah istilah yang
tersemat pada mereka yang haus akan kasih sayang dan pengasuhan ini.
Dalam
kamus ilmiah popular awal kata humanisasi, human berarti,mengenai manusia atau
cara manusia. Humane berarti berperikemanusiaan.Humaniora berarti pengetahuan
yang mencakup filsafat, kajian moral, seni, sejarah, dan bahasa. Humanis,
penganut ajaran dan humanisme yaitu suatu doktrin yang menekan kepentingan-kepentingan
kemanusiaan dan ideal (humanisme pada zaman renaisans didasarkan atas peradaban
Yunani Purba, sedangkan humanism modern menekankan manusia secara ekslusif).
Jadi humanisasi adalah proses memanusiakan manusia atau yang berhubungan dengan
kemansuiaan.
Pendidikan
ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk
memimpin perkembangan jasmani dan rohani ke arah kedewasaan.
Menurut George F. Kneller (1967: 63), pendidikan memiliki arti luas dan sempit.
Dalam arti luas, pendidikan diartikan sebagai tindakan atau pengalaman yang
mempengaruhi perkembangan jiwa, watak, ataupun kemauan fisik individu. Dalam
arti sempit, pendidikan adalah suatu proses mentransformasikan pengetahuan,
nilai-nilai, dan ketrampilan dari generasi ke generasi, yang dilakukan oleh
masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pendidikan tinggi,
atau lembaga-lembaga lain.Dalam
Undang-Undang pasal 1 No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas), disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.
Hakikat Pendidikan
Pendidikan
tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) kepada
peserta didik, tetapi lebih dari itu, yakni mentransfer nilai (transfer of
value). Selain itu, pendidikan juga merupakan kerja budaya yang menuntut
peserta didik untuk selalu mengembangkan potensi dan daya kreativitas yang
dimilikinya agar tetap survive dalam hidupnya. Karena itu, daya kritis dan partisipatif
harus selalu muncul dalam jiwa peserta didik. Anehnya, pendidikan yang telah
lama berjalan tidak menunjukkan hal yang diinginkan. Justru pendidikan hanya
dijadikan alat indoktrinasi berbagai kepentingan. Hal inilah yang merupakan merupakan
akar dehumanisasi.
Pengemasan
pendidikan, pembelajaran, dan pengajaran sekarang ini belum optimal seperti
yang diharapkan. Hal ini terlihat dengan kekacauan-kekacauan yang muncul di
masyarakat bangsa ini, diduga bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia
pendidikan. Pendidikan yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi
terhadap kekacauan ini. Tantangan dunia pendidikan ke depan adalah mewujudkan
proses demokratisasi belajar atau humanisme pendidikan. Pembelajaran yang
mengakui hak anak untuk melakukan tindakan belajar sesuai karakteristiknya.Hal
penting yang perlu ada dalam lingkungan belajar yang dibutuhkan anak didik
adalah kenyataan.Sadar bahwa anak memiliki kekuatan disamping kelemahan,memiliki
keberanian di samping rasa takut dan kecemasan, bisa marah di samping juga bisa
gembira.
Konsep Humanisasi Pendidikan Ki
Hajar Dewantara
Sebenarnya pendidikan
di Indonesia bukan berjalan tanpa konsep, karena jauh sebelum merdeka orangtua
kita,guru kita pahlawan bangsa ini telah mempersiapkan konsepnya dengan baik.Kita
semua tahu Bapak pendidikan Indonesia,yakni Ki Hajar Dewantara.Tapi tahukah kita
konsep pendidikan seperti apa yang sesungguhnya telah dirancang oleh beliau
untuk negeri Indonesia ini?Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan harus
dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu
sendiri.Mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan
manusia (humanisasi),pengangkatan manusia ke taraf insani.
Di dalam mendidik ada
pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada
manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya
pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan,
dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).
Manusia
manurut pandangan Ki Hadjar Dewantara telah dijelaskan dalam tulisannya yang
berjudul Keindahan Manusia yaitu sebagai berikut:
“Manusia
adalah makhluk yang berbudi, sedangkan budi artinya jiwa yang telah melalui
batas kecerdasan yang tertentu, hingga menunjukkan perbedaan yang tegas dengan
jiwa yang dimiliki hewan. Jika hewan hanya berisikan nafsu-nafsu kodrati,
dorongan dan keinginan, insting dan kekuatan lain yang semuanya itu tidak cukup
berkuasa untuk menentang kekuatan-kekuatan, baik yang datang dari luar atau
dari dalam jiwanya. Jiwa hewan semata-mata sanggup untuk melakukan
tindakan-tindakan yang perlu untuk memelihara kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang
masih sanggat sederhana, misalnya makan, minum, bersuara, lari dan sebagainya.”
Pendidikan Kihajar Dewantara
sangat mengedepankan ‘Humanisasi’ tetapi selama 32 tahun sejak orde baru kita
telah mempraktekkan satu konsep pendidikan yang bermuara pada ‘dehumanisasi’.
Sistem
pendidikan yang telah direkayasa telah menyebabkan terjadinya dehumanisasi yang
oleh Freire disebut sebagai pendidikan gaya ‘bank’ (Banking Concept Of
Education). Konsep pendidikan gaya ini mengkondisikan guru untuk memberikan
pelajaran pada muridnya sebagai upaya melipatgandakan hasil (dengan menjadi
robot-robot intelektual) bagi kepentingan penguasa. Secara keseluran Freire
mengungkapkan konsep pendidikan gaya bank sebagai berikut:
(1) Guru mengajar, murid diajar.
(2) Guru mengetahui sesuatu, murid tidak tahu
apa-apa.
(3) Guru berfikir, murid patuh mendengarkan.
(4) Guru bercerita, murid patuh mendengarkan.
(5) Guru menentukan peraturan, murid diatur.
(6) Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid
menyetujui.
(7) Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat
melalui perbuatan gurunya.
(8) Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid
(tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan dengan pelajaran itu.
(9) Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu
pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi
kebebasan murid.
Pendidikan semacam
ini menimbulkan kecintaan pada sesuatu yang tidak jelas, maka terjadilah banyak
generasi yang ‘bingung’ dan lari pada kenyataan hidup yang tidak bermoral.
Pendidikan semacam ini oleh Erich Fromm dalam the Heart of Man disebutkan
sebagai penyebab terjadinya ‘ nekrofili’ (kecintaan terhadap sesuatu yang tidak
berjiwa).
Pendidikan gaya
‘bank’ hanya menghasilkan manusia Indonesia (generasi intelek) yang menjadi
penonton dan peniru, sehingga mudah dipahami mengapa suatu hasil usaha atau
bahkan revolusi yang pernah dialaminya dalam sejarah kebangsaan Indonesia, pada
akhirnya hanyalah menggantikan simbol-simbol dan mitos-mitos yang lama
dengan simbol-simbol atau mitos yang baru yang sebenarnya sama saja, bahkan
terkadang jauh lebih buruk.
Ki Hadjar Dewantara yang mengusung pendidikan nasional
dengan konsep penguatan penanaman nilai-nilai luhur yang yang dimiliki oleh
bangsa sendiri secara masif dalam kehidupan anak didik. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Ki Hadjar Dewantara yang dikutip Mohammad Yamin dalam sebuah penggambaran
proses humanisasi, “berilah kemerdakaan
kepada anak-anak didik kita: bukan kemerdekaan yang leluasa, tetapi yang ternatas
oleh tuntutan-tuntutan kodrat alam yang nyata dan menuju ke arah kebudayaan,
yaitu keluhuran dan kehalusan hidup manusia.Agar kebudayaan itu dapat menyelamatkan
dan membahagiakan hidup dan penghidupan diri dan masyarakat, maka perlulah
dipakai dasar kebangsaan, tetapi jangan sekali-kali dasar ini melanggar atau
bertentangan dengan dasar yang lebih luas yaitu dasar kemanusiaan”
Metode
Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Ki
Hadjar Dewantara merangkum konsep yang dikenal dengan istilah Among Methode
atau sistem among. Among mempunyai pengertian menjaga, membina dan mendidik
anak dengan kasih sayang. Pelaksana “among” (momong) disebut Pamong, yang
mempunyai kepandaian dan pengalaman lebih dari yang diamong.
Tujuan
sistem among membangun anak didik menjadi manusia beriman dan bertakwa, merdeka
lahir batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani
rohani agar menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas
kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya.
Sistem
among yang menyokong kodrat alam anak didik bukan dengan “perintah-paksaan”,
tetapi dengan tuntunan agar berkembang hidup lahir dan batin anak menurut
kodratnya secara subur dan selamat. Sistem
among mengemukakan dua prinsip dasar, yaitu:
1.
Kemerdekaan
merupakan syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin
sehingga bisa hidup merdeka, tidak berada dalam kekuasaan golongan apapun.
2.
Kodrat
alam adalah syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan
secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Kodrat alam tersebut adalah bahwa alam
yang selama ini ada harus dijaga dengan sedemikian baik, jangan dirusak karena
alam menjadi modal bagi pendidikan anak didik agar bertanggung jawab
melestarikan dan memajukannya.Ikhtiar ini merupakan
upaya memanusiakan kembali manusia (humanisasi) sebagai pilihan reformasi
pendidikan di Indonesia. Humanisasi adalah satu-satunya pilihan dalam
kemanusiaan, Karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan sepanjang
sejarah kehidupan manusia dan
tetap merupakan satu kemungkinan
ontologis di masa mendatang, namun ia bukan merupakan keharusan
sejarah. Secara dialektis suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu
keharusan.
Ki Hadjar Dewantara
menempatkan jiwa merdeka sebagai sifat kodrati sang anak yang harus ditumbuh
kembangkan melalui pendidikan dan pengajaran,Sehingga meminimalisir atau bahkan
menghilangkan penyimpangan moral budi pekerti.