Monday, February 6, 2012

Filosofi Hati

0 comments
Seorang guru sufi menyuruh muridnya mengambil segelas air dan membubuhi segenggam garam, kemudian menyuruh si murid meminum air dari gelas itu. “Bagaimana rasanya?” “Asin sangat, Guru….” Lalu, sang guru mengajak si murid ke pinggir danau, kembali menyuruh si murid melakukan hal yang sama, menaburkan segenggam garam, menceduk air danau dengan telapak tangan dan meminumnya.
“Bagaimana rasanya?” “Segar, Guru….” “Begitulah hatimu, Nak! Jika ruang hatimu sempit menerima realita miris kehidupan, kau akan tersiksa. Sebaliknya, jika engkau melapangkan hatimu, niscaya takkan ada persoalan yang terlalu berat untuk diatasi.”
Jika engkau memandang kehidupan ini dengan persepsi negatif, hal apa pun akan membuatmu susah. Jika engkau menerima realita apa pun dalam hidupmu dengan persepsi positif, bahkan penderitaan pun akan kau rasa indah.
Terkadang kita teramat kesal menghadapi sifat egois seseorang. Pernahkah engkau memancing ikan di sungai atau di laut? Ketika umpan pada mata kailmu ditelan ikan besar, jangan buru-buru engkau tarik jika tali pancingmu halus, bisa-bisa putus, ikan tak jadi kau dapat. Tetapi, longgarkan dulu tali pancingmu dan biarkan si ikan kelelahan sendiri. Pada saatnya engkau bisa menarik ikan pancinganmu dengan mudah.
Artinya…, dalam menghadapi orang yang egois, entah suami, isteri, anak-anak, kerabat atau sejawat, bersabarlah, ikuti apa maunya dalam batas yang wajar. Pada saatnya engkau akan bisa melunakkan sifat egois orang itu.
Atau, pernahkah engkau bermain layang-layang? Manakala angin di angkasa bertiup kencang, lepaslah layang-layangmu dengan melonggarkan benang, jika habis seputaran, tambah dan sambung dengan puntaran berikutnya, tambah lagi dan lagi. Pada saatnya angin berhembus stabil, kau pun dapat mengendalikan layang-layang itu sesuai keinginanmu
Begitulah; kesabaran tak boleh ada batasnya, kecuali dua hal: tawakkal (+) atau putusasa (-)

Sumber

Leave a Reply