Sebenarnya, pendidikan di Indonesia bukan berjalan tanpa
konsep, karena jauh sebelum merdeka orangtua kita, guru kita pahlawan bangsa
ini telah mempersiapkan konsepnya dengan baik. Kita semua tahu Bapak pendidikan
Indonesia, yakni Ki hajar dewantara. Tapi tahukah kita konsep pendidikan
seperti apa yang sesungguhnya telah dirancang oleh beliau?
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), pengangkatan manusia ke taraf insani.
Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).
Pendidikan Kihajar Dewantara sangat mengedepankan ‘Humanisasi’ tetapi selama 32 tahun sejak orde baru kita telah mempraktekkan satu konsep pendidikan yang bermuara pada ‘dehumanisasi’.
Inilah kenyataan paling pahit dalam negara yang mengagungkan hak asasi dan kemanusiaan yang adil dan beradap. Kenyataan 32 tahun bukan suatu keharusan sejarah, karenanya melalui kekuatan ‘moral’ kaum tertindas mempelopori gerakan anti dehumanisasi. Guru telah mengawali dengan aksi protes yang tidak akan pernah berakhir apabila ‘humanisasi’ belum menjadi gerakan pendidikan di era reformasi ini.
Sistem pendidikan yang telah direkayasa telah menyebabkan terjadinya dehumanisasi yang oleh Freire disebut sebagai pendidikan gaya ‘bank’ (Banking Concept Of Education). Konsep pendidikan gaya ini mengkondisikan guru untuk memberikan pelajaran pada muridnya sebagai upaya melipatgandakan hasil (dengan menjadi robot-robot intelektual) bagi kepentingan penguasa.
Pendidikan semacam ini menimbulkan kecintaan pada sesuatu yang tidak jelas, maka terjadilah banyak generasi yang ‘bingung’ dan lari pada kenyataan hidup yang tidak bermoral. Pendidikan semacam ini oleh Erich Fromm dalam the Heart of Man disebutkan sebagai penyebab terjadinya ‘ nekrofili’ (kecintaan terhadap sesuatu yang tidak berjiwa).
Output dari pendidikan kita selama 32 tahun paling jauh hanya akan merubah penafsiran seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, tetapi tidak mampu mengubah realitas dirinya sendiri. Pendidikan gaya ‘bank’ hanya menghasilkan manusia Indonesia (generasi intelek) yang menjadi penonton dan peniru, sehingga mudah dipahami mengapa suatu hasil usaha atau bahkan revolusi yang pernah dialaminya dalam sejarah kebangsaan Indonesia, pada akhirnya hanyalah menggantikan simbol-simbol dan mitos-mitos yang lama dengan simbol-simbol atau mitos yang baru yang sebenarnya sama saja, bahkan terkadang jauh lebih buruk.
Dalam kenyataannya kelompok manusia yang menderita tersebut adalah bagian mayoritas umat Indonesia, sementara kelompok yang menikmati dari system ketidak adilan tersebut adalah minoritas umat Indonesia. Segi inilah pendidikan gaya orde baru telah menimbulkan ‘situasi penindasan’ yang berakibat pada tumbuhnya gerakan kesadaran dikalangan terpelajar khususnya guru sebagai rasa tidak senang akan ketertindasan tersebut.
Apapun alasannya, hari ini semua orang menyadari bahwa penindasan adalah sesuatu yang mencampakkan harkat kemanusiaan dan menyebabkan terjadinya dehumanisasi. Dehumanisasi akibat dari sebuah rekayasa sebuah system kehidupan kenegaraan akan bersifat mendua, yaitu kelompok mayoritas dan minoritas. Keduanya menyalahi kodrat manusia sejati. Mayoritas masyarakat tertindas menajdi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, mereka dibuat tak berdaya dan dibenamkan dalam ‘budaya bisu’. Adapun masyarakat minoritas penindas juga menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakekat kebenaran dan hati nurani sendiri dengan memaksa penindasan terhadap sesamanya.
Jika kita hari ini ingin mengembalikan ‘motivasi’ pendidikan sesuai konsep ‘pandita satria’ Kihajar Dewantara, maka Kondisi pendidikan 32 tahun hingga hari ini mengharuskan adanya iktiar baik dalam bentuk aksi protes seperti yang dilakukan guru maupun sumbang pikir.
Iktiar ini merupakan upaya memanusiakan kembali manusia (humanisasi) sebagai pilihan reformasi pendidikan di Indonesia. Humanisasi adalah satu-satunya pilihan dalam kemanusiaan, Karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan sepanjang sejarah kehidupan manusia dan tetap merupakan satu kemungkinan ontologis di masa mendatang, namun ia bukan merupakan keharusan sejarah. Secara dialektis suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan.
Sistem pendidikan dalam konteks ‘humanisasi’ yang harus dikembangkan adalah pendidikan untuk pembebasan bukan untuk penguasaan (dominasi keinginan seseorang terhadap orang lain). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan hak intelektual manusia bukan penjinakan sosial budaya masyarakat. Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia, dan karena itu secara metodologis proses pendidikan harus bertumpu diatas prinsip-prinsip akasi dan refleksi total. Diman prinsip-prinsip ini bertindak untuk merubah kenyataan kehidupan masyarakat minoritas yang pada sisi simultan lainnya secara terus menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan dari ketidakadilan menjadi kehidupan yang berkeadilan. Dari tidak demokratis menjadi kehidupan yang demokratis dan dari kekuasaan absolut penuh KKN menjadi kekuasaan yang demokratis yang bebas dari KKN.(*)
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), pengangkatan manusia ke taraf insani.
Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).
Pendidikan Kihajar Dewantara sangat mengedepankan ‘Humanisasi’ tetapi selama 32 tahun sejak orde baru kita telah mempraktekkan satu konsep pendidikan yang bermuara pada ‘dehumanisasi’.
Inilah kenyataan paling pahit dalam negara yang mengagungkan hak asasi dan kemanusiaan yang adil dan beradap. Kenyataan 32 tahun bukan suatu keharusan sejarah, karenanya melalui kekuatan ‘moral’ kaum tertindas mempelopori gerakan anti dehumanisasi. Guru telah mengawali dengan aksi protes yang tidak akan pernah berakhir apabila ‘humanisasi’ belum menjadi gerakan pendidikan di era reformasi ini.
Sistem pendidikan yang telah direkayasa telah menyebabkan terjadinya dehumanisasi yang oleh Freire disebut sebagai pendidikan gaya ‘bank’ (Banking Concept Of Education). Konsep pendidikan gaya ini mengkondisikan guru untuk memberikan pelajaran pada muridnya sebagai upaya melipatgandakan hasil (dengan menjadi robot-robot intelektual) bagi kepentingan penguasa.
Pendidikan semacam ini menimbulkan kecintaan pada sesuatu yang tidak jelas, maka terjadilah banyak generasi yang ‘bingung’ dan lari pada kenyataan hidup yang tidak bermoral. Pendidikan semacam ini oleh Erich Fromm dalam the Heart of Man disebutkan sebagai penyebab terjadinya ‘ nekrofili’ (kecintaan terhadap sesuatu yang tidak berjiwa).
Output dari pendidikan kita selama 32 tahun paling jauh hanya akan merubah penafsiran seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, tetapi tidak mampu mengubah realitas dirinya sendiri. Pendidikan gaya ‘bank’ hanya menghasilkan manusia Indonesia (generasi intelek) yang menjadi penonton dan peniru, sehingga mudah dipahami mengapa suatu hasil usaha atau bahkan revolusi yang pernah dialaminya dalam sejarah kebangsaan Indonesia, pada akhirnya hanyalah menggantikan simbol-simbol dan mitos-mitos yang lama dengan simbol-simbol atau mitos yang baru yang sebenarnya sama saja, bahkan terkadang jauh lebih buruk.
Dalam kenyataannya kelompok manusia yang menderita tersebut adalah bagian mayoritas umat Indonesia, sementara kelompok yang menikmati dari system ketidak adilan tersebut adalah minoritas umat Indonesia. Segi inilah pendidikan gaya orde baru telah menimbulkan ‘situasi penindasan’ yang berakibat pada tumbuhnya gerakan kesadaran dikalangan terpelajar khususnya guru sebagai rasa tidak senang akan ketertindasan tersebut.
Apapun alasannya, hari ini semua orang menyadari bahwa penindasan adalah sesuatu yang mencampakkan harkat kemanusiaan dan menyebabkan terjadinya dehumanisasi. Dehumanisasi akibat dari sebuah rekayasa sebuah system kehidupan kenegaraan akan bersifat mendua, yaitu kelompok mayoritas dan minoritas. Keduanya menyalahi kodrat manusia sejati. Mayoritas masyarakat tertindas menajdi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, mereka dibuat tak berdaya dan dibenamkan dalam ‘budaya bisu’. Adapun masyarakat minoritas penindas juga menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakekat kebenaran dan hati nurani sendiri dengan memaksa penindasan terhadap sesamanya.
Jika kita hari ini ingin mengembalikan ‘motivasi’ pendidikan sesuai konsep ‘pandita satria’ Kihajar Dewantara, maka Kondisi pendidikan 32 tahun hingga hari ini mengharuskan adanya iktiar baik dalam bentuk aksi protes seperti yang dilakukan guru maupun sumbang pikir.
Iktiar ini merupakan upaya memanusiakan kembali manusia (humanisasi) sebagai pilihan reformasi pendidikan di Indonesia. Humanisasi adalah satu-satunya pilihan dalam kemanusiaan, Karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan sepanjang sejarah kehidupan manusia dan tetap merupakan satu kemungkinan ontologis di masa mendatang, namun ia bukan merupakan keharusan sejarah. Secara dialektis suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan.
Sistem pendidikan dalam konteks ‘humanisasi’ yang harus dikembangkan adalah pendidikan untuk pembebasan bukan untuk penguasaan (dominasi keinginan seseorang terhadap orang lain). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan hak intelektual manusia bukan penjinakan sosial budaya masyarakat. Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia, dan karena itu secara metodologis proses pendidikan harus bertumpu diatas prinsip-prinsip akasi dan refleksi total. Diman prinsip-prinsip ini bertindak untuk merubah kenyataan kehidupan masyarakat minoritas yang pada sisi simultan lainnya secara terus menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan dari ketidakadilan menjadi kehidupan yang berkeadilan. Dari tidak demokratis menjadi kehidupan yang demokratis dan dari kekuasaan absolut penuh KKN menjadi kekuasaan yang demokratis yang bebas dari KKN.(*)